ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN TUBERKULOSIS
A. KONSEP MEDIS
Pengertian
Tuberkulosis
adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.
Etiologi
Tuberkulosis
paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium
tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran
panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam
lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam
dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik
Kuman
ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam
sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali
dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat
ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari
pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi
penyakit tuberkulosis.
Tuberkulosis
paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernapasan. Basil
mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet
infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon)
selanjutnya menyebar kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke).
keduanya dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar
akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer, peradangan terjadi
sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium.
Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan pad usia 1-3 tahun. Sedangkan yang
disebut tuberkulosis post primer (reinfection) adalah peradangan
jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh
terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.
Proses Penularan
Tuberkulosis
tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang
dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali
penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya
terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam
waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan
cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam.
Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni
konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam
udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang
bersangkutan.
Di samping
penularan melalui saluran
pernapasan (paling sering),
M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).
Insiden
Penyakit
tuberkulosis adalah penyakit yang sangat epidemik karena kuman
mikrobakterium tuberkulosa telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Program
penanggulangan secara terpadu baru dilakkan pada tahun 1995 melalui strategi
DOTS (directly observed treatment shortcourse chemoterapy), meskipun
sejak tahun 1993 telah dicanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis.
Kegelisahan global ini didasarkan pada fakta bahwa pada sebagian besar
negara di dunia, penyakit tuberkulosis
tidak terkendali, hal ini disebabkan banyak penderita yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif).
Pada
tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita
dengan kematian tiga juta orang (WHO,
1997). Di negara-negara berkembang kematian karena penyakit ini merupakan 25 %
dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95 %
penyakit tuberkulosis berada di negara berkembang, 75 % adalah kelompok usia
produktif (15-50 tahun). Tuberkulosis juga telah menyebabkan kematian lebih
banyak terhadap wanita dibandingkan dengan kasus kematian karena kehamilan,
persalinan dan nifas.
Di
indonesia
pada tahun yang sama, hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit jantung dan penyakit infeksi saluran pernapasan pada semua kelompok
usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan setiap
tahun menjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian sekitar 140.000.
secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita
baru tuberkulosis dengan BTA positif.
Patofisiologi
Kuman
micobacterium tuberculosis masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan,
saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit, kebanyakan infeksi
tuberculosis terjadi melalui udara (air borne), yaitu melalui inhalasi
droppet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terinfeksi.
Basil
tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi terdiri dari satu
sampai tiga gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran
hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada
dalam ruang alveolus biasanya di bagian bawah lobus atau paru-paru, atau di
bagian atas lobus bawah. Basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.
Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bacteria
namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka
leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat
sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses
dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di
dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit, yang dikelilingi
oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
Manifestasi Klinik
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik:
1.
Gejala
respiratorik, meliputi:
a.
Batuk
Gejala batuk timbul
paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula
bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada
kerusakan jaringan.
b.
Batuk darah
Darah yang dikeluarkan
dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak,
gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi
karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari
besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c.
Sesak napas
Gejala ini ditemukan
bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai
seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d.
Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru
termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala
ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi:
a. Demam
Merupakan gejala yang
sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza,
hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas
serangan makin pendek.
b. Gejala
sistemik lain
Gejala sistemik lain
ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya
gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan
akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul
menyerupai gejala pneumonia.
Gejala klinis Haemoptoe:
Kita harus memastikan
bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai
berikut :
1.
Batuk
darah
a.
Darah
dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b.
Darah berbuih bercampur udara
c.
Darah segar berwarna merah
muda
d.
Darah bersifat alkalis
e.
Anemia kadang-kadang terjadi
f.
Benzidin test negatif
2.
Muntah
darah
a. Darah
dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah
bercampur sisa makanan
c.
Darah
berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah
bersifat asam
e. Anemia
seriang terjadi
f.
Benzidin test positif
3.
Epistaksis
a. Darah
menetes dari hidung
b. Batuk
pelan kadang keluar
c. Darah
berwarna merah segar
d. Darah
bersifat alkalis
e. Anemia
jarang terjadi
Test
Diagnostik
Foto thorax
PA dengan atau tanpa literal merupakan pemeriksaan radiology standar. Jenis
pemeriksaan radiology lain hanya atas
indikasi Top foto, oblik, tomogram dan lain-lain.
Karakteristik
radiology yang menunjang diagnostik
antara lain :
a. Bayangan
lesi radiology yang terletak di lapangan atas paru.
b. Bayangan
yang berawan (patchy) atau berbercak (noduler)
c.
Adanya
kapias, tunggal atau ganda.
d. Adanya
klasifikasi.
e. Kelainan
yang bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru.
f.
Bayang
yang menetap atau relatif menetap setelah beberapa minggu.
g. Bayangan
bilier.
Pemeriksaan
Bakteriologik (Sputum) ; Ditemukannya kuman micobakterium TBC dari dahak
penderita memastikan diagnosis tuberculosis paru.
Pemeriksaan biasanya
lebih sensitive daripada sediaan apus (mikroskopis). Pengambilan dahak yang
benar sangat penting untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pada
pemeriksaan pertama. sebaiknya 3 kali pemeriksaan dahak. Uji resistensi harus
dilakukan apabila ada dugaan resistensi terhadap pengobatan.
Pemeriksaan sputum
adalah diagnostik yang terpenting dalam prograrn pemberantasan TBC paru di Indonesia.
Klasifikasi TB
Klasifikasi
TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat
pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu
faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.
Sesuai
dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:
a.
TB Paru
BTA Positif dengan kriteria:
1. Dengan
atau tanpa gejala klinik
2. BTA
positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan
positif 1 kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
3. Gambaran
radiologik sesuai dengan TB paru.
b.
TB Paru
BTA Negatif dengan kriteria:
1.
Gejala
klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
2.
BTA
negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
c.
Bekas TB Paru dengan kriteria:
1. Bakteriologik
(mikroskopik dan biakan) negatif
2. Gejala
klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
3. Radiologik
menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak
berubah.
4. Ada
riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
Penanganan Medik
Tujuan
pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah
kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan
mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis
terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7
bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan.
Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat
tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam
Klavulanat, derivat Rifampisin/INH.
Cara kerja, potensi dan dosis OAT
utama dapat dilihat pada tabel berikut:
Obat
Anti TB Esensial
|
Aksi
|
Potensi
|
Rekomendasi Dosis (mg/kg BB)
|
||
Per
Hari
|
Per
Minggu
|
||||
3
x
|
2
x
|
||||
Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Pirasinamid (Z)
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
|
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal Bakterisidal Bakteriostatik
|
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
|
5
10
25
15
15
|
10
10
35
15
30
|
15
10
50
15
45
|
Untuk
keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan
lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik,
hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman
tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed
Treatment Short Course (DOTS)
yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya
komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
2. Diagnosis
TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan
penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan
di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan
TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum
obat setiap hari.
4. Kesinambungan
ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5.
Pencatatan
dan pelaporan yang baku.
PANDUAN OBAT TUBERKULOSIS PARU
Untuk
program nasional penmberantasan TB Paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai
dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan urutan kebutuhan pengobatan dalam
program. Untuk itu penderita dibagi dalam
4 kategori sebagai berikut :
1.
Kategori
I : Kasus
baru dengan dahak positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti
Meningitis , TB Milier, Perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral,
spondiolitis dengan gangguan neurologis, penderita dengan dahak negatif tetapi
kelinan parunya luas, TB usus, TB saluran kemih dsb.
2.
Kategori
II : Kasus
kambuh atau gagal dengan dahak tetap positif.
3.
Kategori
III : Kasus
dengan dahak negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB diluar
paru selain yang disebut dalam kategori I.
4.
Kategori IV : Tuberkulosis Kronik.
PANDUAN OBAT KATEGORI
I
Dimulai
dengan fase 2 HRZS(E) obat diberikan tiap hari
selama 2 bulan bila selama 2 bulan dahak menjadi negatif maka dimulai
fase lanjutan. Bila setelah 2 bulan dahak masih tetap positif maka fase
intensif diperpanjang 2 – 4 minggu lagi (dalam program P2TB Depkes diberikan 1
bulan dan dikenal sebagai obat sisipan), kemudian diteruskan dengan fase lanjutan
tanpa melihat apakah dahak sudah negatif atau belum. Fase lanjutanya adalah 4
HR atau 4 H3R3. Pada penderita meningitis, TB Milier, Spondiolitis dengan
kelainan neurologis, fase lanjutan diberikan lebih lama yaitu 6 – 7 bulan
hingga total pengobatan 8 – 9 bulan. Sebagai panduan alternatif pada fase
lanjutan ialah 6 HE.
Fase intensif dalam
bentuk 2 HRZES-1 HRZE. Bila
setelah fase intensif dahak menjadi negatif maka diteruskan ke fase lanjutan.
Bila setelah 3 bulan dahak masih tetap positif maka fase intensif diperpanjang
1 bulan lagi dengan HRZE (juga dikenal sebagai obat sisipan) bila setelah 4
bulan dahak nmasih tetap posistif maka pengobatan di hentikan 2 – 3 hari, lalu
periksa biakan dan uji resistensi kemudian pengobatan diteruskan dengan fase
lanjutan. Bila penderita mempunyai data resisten sebelumnya dan ternyata kuman
masih sensitive terhadap semua obat dan setelah fase intensif dahak menjadi
negatif maka fase lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan pengawasan ketat. Bila data
menunjukan resistensi terhadap H atau R maka fase lanjutan harus diawasi dengan
ketat. Tetapi jika data menunjukan resistensi terhadap H dan R maka kemungkinan
keberhasilan pengobatan kecil. Fase lanjutan adalah 5 H3R3E3 bila dapat dilakukan
pengawasan atau 5 HRE bila tidak dapat dilakukan pengawasan.
PANDUAN OBAT KATEGORI
III
2 HRZ / 6 HE
2
HRZ / 4 HR
2
HRZ / 4 H3R3
PANDUAN OBAT KATEGORI IV
Prioritas
pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk
negara kurang mampu dan dari segi kesehatan masyarakat dapat diberikan H saja
seumur hidup. Sedang untuk negara maju atau pengobatan secara individu
(penderita mampu) dapat dicoba pemberian obat berdasarkan sesuai uji resisten
atau obat lapis kedua seperti quinolon, ethioamide, sikloserin, amikasin,
kanamisin dsb.
B. KONSEP
KEPERAWATAN
Pengkajian
Data-data yang perlu
dikaji pada asuhan keperawatan dengan Tuberkulosis paru (Doenges, 2000) ialah sebagai berikut :
1.
Riwayat PerjalananPenyakit
Keluhan
utama : Batuk
produkif dan non produktif
a.
Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif :
Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek), sulit
tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari.
Objektif :
Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut;
infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 –410C)
hilang timbul.
Subjektif :
Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : Turgor
kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.
c.
Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas,
sakit dada.
Objektif : Mulai
batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau
bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar
di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan
pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.),
perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).
d.
Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri
dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku
distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul
bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
e.
Integritas ego
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan
tak berdaya/tak ada harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas,
ketakutan, mudah tersinggung.
2.
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
a.
Pernah sakit batuk yang lama
dan tidak sembuh-sembuh.
b.
Pernah
berobat tetapi tidak sembuh.
c.
Pernah
berobat tetapi tidak teratur.
d.
Riwayat
kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru.
e.
Daya tahan tubuh yang menurun.
f.
Riwayat vaksinasi yang tidak
teratur.
3.
Riwayat Pengobatan Sebelumnya:
a.
Kapan
pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.
b.
Jenis,
warna, dosis obat yang diminum.
c.
Berapa
lama. pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakitnya.
d.
Kapan
pasien mendapatkan pengobatan terakhir.
4.
Riwayat Sosial Ekonomi:
a.
Riwayat pekerjaan. Jenis
pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah penghasilan.
b.
Aspek psikososial. Merasa
dikucilkan, tidak dapat berkomunikisi dengan bebas, menarik diri, biasanya pada
keluarga yang kurang marnpu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk
sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah tentang masa
depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.
5.
Faktor Pendukung:
a.
Riwayat lingkungan.
b.
Pola hidup.
Nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol,
pola istirahat dan tidur, kebersihan diri.
c.
Tingkat pengetahuan/pendidikan
pasien dan keluarga tentang penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.
6.
Pemeriksaan Diagnostik:
a. Kultur
sputum: Mikobakterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit.
b. Tes
Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72
jam).
c. Poto
torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas ; Pada tahap dini tampak
gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas ; Pada kavitas
bayangan, berupa cincin ; Pada kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi.
d.
Bronchografi:
untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB paru.
e.
Darah:
peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
f.
Spirometri:
penurunan fuagsi paru dengan kapasitas vital menurun.
2. Dampak
Penyakit Tuberkulosis Terhadap Penyimpangan KDM
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa
keperawatan yang lazim terjadi pada klien dengan Tuberkulosis paru adalah
sebagai berikut:
a. Bersihan
jalan napas tidak efektif berhubungan dengan: Sekret kental atau sekret darah,
Kelemahan, upaya batuk buruk. Edema trakeal/faringeal.
b. Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan: Berkurangnya keefektifan permukaan paru,
atelektasis, Kerusakan membran alveolar kapiler, Sekret yang kental, Edema
bronchial.
c. Resiko
tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan: Daya tahan tubuh
menurun, fungsi silia menurun, sekret yang inenetap, Kerusakan jaringan akibat
infeksi yang menyebar, Malnutrisi, Terkontaminasi oleh lingkungan, Kurang
pengetahuan tentang infeksi kuman.
d. Perubahan
kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan: Kelelahan, Batuk
yang sering, adanya produksi sputum, Dispnea, Anoreksia, Penurunan kemampuan
finansial.
e. Kurang
pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan: Tidak
ada yang menerangkan, Interpretasi yang salah, Informasi yang didapat tidak
lengkap/tidak akurat, Terbatasnya pengetahuan/kognitif
Rencana Keperawatan
Adapun
rencana keperawatan yang ditetapkan berdasarkan diagnosis keperawatan yang
telah dirumuskan sebagai berikut:
1).
Bersihan
jalan napas tidak efektif
Tujuan: Mempertahankan jalan napas pasien.
Mengeluarkan sekret tanpa bantuan. Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan napas. Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Intervensi:
a. Kaji
fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, imma, kedalaman dan penggunaan otot
aksesori.
Rasional: Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi
akumulasi secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori
digunakan dan kerja pernapasan meningkat.
b.
Catat kemampuan untuk
mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional: Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat
kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.
c.
Berikan pasien posisi semi
atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam.
Rasional: Meningkatkan
ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan peningkatan
gerakan sekret agar mudah dikeluarkan
d.
Bersihkan
sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
Rasional:
Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction
dilakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
e.
Pertahankan intake cairan
minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
Rasional: Membantu mengencerkan secret sehingga mudah dikeluarkan
f.
Lembabkan udara/oksigen
inspirasi.
Rasional: Mencegah
pengeringan membran mukosa.
g.
Berikan
obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.
Rasional: Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran
ukuran lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang
luas.
h.
Bantu
inkubasi darurat bila perlu.
Rasional: Diperlukan pada kasus jarang bronkogenik.
dengan edema laring atau perdarahan paru akut.
2).
Gangguan
pertukaran gas
Tujuan: Melaporkan tidak
terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
adekuat dengan GDA dalam rentang normal. Bebas dari gejala
distress pernapasan.
Intervensi
a.
Kaji dispnea, takipnea, bunyi
pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada
dan kelemahan.
Rasional: Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam
paru-paru yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi,
nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala
respirasi distress.
b.
Evaluasi perubahan-tingkat
kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran
mukosa, dan warna kuku.
Rasional: Akumulasi secret dapat menganggap oksigenasi di organ vital dan
jaringan.
c.
Demonstrasikan/anjurkan untuk
mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis
atau kerusakan parenkim.
Rasional: Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya
jalan napas.
d.
Anjurkan
untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
Rasional: Mengurangi
konsumsi oksigen pada periode respirasi.
e.
Monitor
Gas darah arteri (GDA).
Rasional:
Menurunnya saturasi oksigen (PaO2)
atau meningkatnya PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih.
adekuat atau perubahan terapi.
f.
Berikan oksigen sesuai
indikasi.
Rasional: Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder hipoventilasi
dan penurunan permukaan alveolar paru.
3).
Resiko
tinggi infeksi sekunder dan penyebaran infeksi
Tujuan: Mengidentifikasi
intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi.
Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang.
aman.
Intervensi
a.
Review patologi penyakit fase
aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya
atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin,
meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.
Rasional: Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang
diberikan untuk mencegah komplikasi.
b.
Identifikasi
orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman,
orang dalam satu perkumpulan.
Rasional: Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah
penyebaran infeksi.
c.
Anjurkan pasien menutup mulut
dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk.
Rasional: Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
d.
Gunakan
masker setiap melakukan tindakan.
Rasional: Mengurangi risilio penyebaran infeksi.
e.
Monitor temperatur klien.
Rasional: Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
f.
Identifikasi individu yang
berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme,
malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/
kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.
Rasional: Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk
mengubah gaya
hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk.
g.
Tekankan untuk tidak
menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional: Periode
menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan kemoterapi jika sudah
terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
h.
Kolaborasi
pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
Rasional: INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer
dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan
Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan pertama.
i.
Kolaborasi
pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS),
sikloserin, streptomisin.
Rasional: Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
j.
Monitor sputum BTA
Rasional: Untuk
mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi.
4).
Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
Tujuan: Menunjukkan berat badan meningkat mencapai
tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan
perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang
tepat.
Intervensi:
a.
Catat status nutrisi paasien:
turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan,
adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang
tepat.
b.
Kaji pola
diet pasien yang disukai/tidak disukai.
Rasional: Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake
diet pasien.
c.
Monitor intake dan output
secara periodik.
Rasional:
Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
d.
Catatan adanya anoreksia,
mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi
frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
Rasional: Dapat
menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan
intake nutrisi.
e.
Anjurkan bedrest.
Rasional: Membantu
menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
f.
Lakukan perawatan mulut
sebelurn dan sesudah tindakan pernapasan.
Rasional: Mengurangi
rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.
g.
Anjurkan
makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional: Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
h.
Rujuk ke ahli gizi untuk
menentukan komposisi diet.
Rasional: Memberikan
bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik
dan diet.
i.
Bicarakan dengan tim medis
untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah makan.
Rasional: Membantu menurunkan insiden mual dan muntah karena efek samping
obat.
j.
Awasi
pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
Rasional: Nilai rendah menunjukkan
malnutrisi dan perubahan program terapi.
k.
Kolaborasi untuk pemberian
antipiretik yang tepat.
Rasional: Demam meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsurnsi kalori.
5).
Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan,
pencegahan.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses
penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan. Melakukan perubahan prilaku dan
pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan
ulang luberkulosis paru. Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan
evaluasi/intervensi. Menerima perawatan kesehatan adekuat.
Intervensi
a.
Kaji kemampuan belajar pasien
misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi,
lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.
Rasional: Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan
fisik. Keberhasilan tergantung
pada kemarnpuan pasien.
b.
Identifikasi tanda-tanda yang
dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
Rasional: Indikasi
perkembangan penyakit atau efek samping obat yang membutuhkan evaluasi
secepatnya.
c.
Tekankan pentingnya asupan
diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang adekuat.
Rasional: Mencukupi
kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan membantu mengencerkan
dahak.
d.
Berikan
Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.
Rasional: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
e.
jelaskan penatalaksanaan obat:
dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi
penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.
Rasional: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan
mencegah putus obat.
f.
jelaskan
tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan,
sakit kepala, peningkatan tekanan darah
Rasional: Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
g.
Anjurkan
pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
Rasional: Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
h.
Rujuk
perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
Rasional: Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat
warna hijau.
i.
Dorong
pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan. Jangan
menyangkal.
Rasional: Menurunkan kecemasan. Penyangkalan dapat memperburuk mekanisme
koping.
j.
Berikan gambaran tentang
pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran
logam, pertambangan, pengecatan.
Rasional: Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi
paru/bronkus.
k.
Anjurkan untuk berhenti
merokok.
Rasional: Merokok tidak menstimulasi kambuhnya Tuberkulosis; tapi gangguan
pernapasan/ bronchitis.
l.
Review tentang cara penularan
Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
Rasional: Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh
kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema, pneumotorak,
fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi Gastro,
Instestinal (GD, fistula bronkopleural, Tuberkulosis laring, dan penularan
kuman.
Evaluasi
a.
Keefektifan bersihan jalan
napas.
b.
Fungsi
pernapasan adekuat untuk mernenuhi kebutuhan individu.
c.
Perilaku/pola
hidup berubah untuk mencegah penyebaran infeksi.
d.
Kebutuhan
nutrisi adekuat, berat badan meningkat dan tidak terjadi malnutrisi.
e.
Pemahaman tentang proses
penyakit/prognosis dan program pengobatan dan perubahan perilaku untuk memperbaiki
kesehatan.
PUSTAKA
Brunner
& Suddart, Keperawatan medikal Bedah
Carpenito (2000), Diagnosa
Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,
Ed.3, EGC, Jakarta
Guyton,
Fisiologi Manusia
Luckman
And Sorenson, Medical Surgical Nursing
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta
Soedarsono (2000), Tuberkulosis
Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab. Ilmu Penyakit Paru
FK UnaiRasional :RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam,
BP FKUI, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar