MERINTIH DISYAHBANDAR
(Abdul Haris Awie)
Ketika kau lambaikan tangan,
Kamu langkahkan kaki,
Gemulai aku dengan lirih,
Diatas rintih dikerongkongan.
Suara derap langkah kaki, makin
menderu,
Isak tangis mencoba mengurai,
Ketika jabat tangan kita disore itu,
Adalah salam terakhir sebelum dikau
menantang badai disamudera dengan segala riak dan ombaknya.
Aku masih berdiri disini,
Ketika suara langkah itu terus
menderu,
Detak-detak jantung dengan segala
harap,
Usai sudah kamu menyeka segala
kegundahan,
Bahwa suaramupun kian terserak.
Adalah salam terakhir,
Dengan torehan jemari dengan airmata,
Ketika pula kita menggugat waktu nanti,,
Merenggut sejumput harap
yang pernah kita rangkai.
Janji palsu
(Ijhalways)
Sebuah kata indah yang terdengar ditelinga
Sebuah janji yang kusimpan dalam hati
Kasih sayang yang kuharapkan
Tanpa sebuah kekecawaan yang begitu dalam
Disaat lorong hati tlah gersang atas segala sikapmu
Bunga yang indah, daun yang menghijau
Buah yang tak lagi memancarkan kemanisannya
Telah diterpa angin yang membawa butiran luka.
Dimana janji yang telah terukir dalam tulisan kalbu
kasih sayang yang tlah tumbuh
dengan indahnya bahasa cinta yang engkau lontarkan
dari bibir manismu.
Kini hanya keegoisan yang tlah engkau besarkan
tanpa mengerti dengan rasa yang ada
tanpa ingin tahu dengan suatu keadaan
yang telah menerpa dalam langkah hidup yang kosong
kupersembahkan semua kata manis, janji,
dan kasih sayangmu yang telah engkau berikan dalam bahasa kalbu
aku tak butuh semua buah yang engkau berikan
jika hanya buah yang telah busuk dan kecut.
PILU ORANG PINGGIRAN
(Ayoe)
Terik
matahari menemani mereka..
Debu
jalanan, embun bagi mereka..
Deru
mesin yang berdendang, nyanyian merdu bagi mereka..
Kolom jembatan dan emperan adalah istana mereka..
Mereka
bisa tertidur pulas diatas tumpukan kardus..
Mereka
merasa hangat dengan balutan koran bekas..
Bahkan
mereka terbiasa makan nasi tanpa lauk dengan rakus..
Tapi
mengapa hidup mereka masih di tindas..
Istana
kardus mereka dihanguskan..
Gerobak-gerobak
mereka di sita tanpa belas kasihan..
Mengatas
namakan hukum dan ketertiban..
Membuat
mereka melewati hari-hari dengan kelaparan..
Ya
tuhan ...
Adakah
keadilan yang mereka harapkan ?
Mereka
tak pernah meminta lebih..
Untuk
kehidupan yang mewah..
Bermimpi
jadi konglomeratpun mereka tak pernah..
Mereka
sadar makan tiga kali sehari itu sudah mewah..
Lihatlah
anak mereka yang tak sekolah..
Setiap
hari hanya mengais sampah..
Tak
pernah mengeluh meski kaki luka dan bernanah..
Demi
sesuap nasi mereka tabah..
Lihatlah
para penguasa kita..
Menjual
nama mereka demi setumpuk harta..
Ingatlah
mereka ini juga manusia..
Berhak
mendapat tempat meskipun mereka di pandang hina..
Dengarlah
pinta mereka ..
Biarkan
mereka hidup bebas tanpa diburu dan disiksa..
Mengejar
hari esok demi anak cucu kami yang buta aksara..
Agar
mereka tak jadi sampah dunia..
Dengan
tekat yang kuat mereka yakin bisa..
Istana
kardus ini akan jadi istana yang nyata..
Karena
mereka adalah orang pinggiran berhati baja..
Orang
pinggiran yang memiliki beribu cita..
Mereka
tegar menghadapi kejamnya dunia..
Tak
takut dengan yang namanya derita..
Takkan
goyah bila badai menerpa..
Kelak
merekalah orang-orang yang merdeka..
Berharap Dirimu
(A_L)
Di saat aku terbelanggu akan keadaan
Tiada dirimu yang beriku semangat
Di saat ku merindukanmu tiada dirimu di sampingku
Aku ingin dirimu selalu ada dalam hatiku
Menemani hari-hariku
Dan menghabiskan waktu bersamaku
Di saat kumerenung tentang hari kemarin
Alangkan bahagianya diriku di sampingmu
Dan ku ingin engkau ada di pelukanku
Selamanya..
Dan takkan ku lepaskan untuk yang kedua kalinya
Andai kau tahu
Ku sangat merindukan pelukanmu
Ku berharap kaulah yang terkhir untukku…
SENANDUNG HUJAN
Cipt. Abdul Haris Awie
*Paaak,..... Uangta, seribu
mo
Anak kecil dengan harap
melilit,
Anak kecil dengan kaki
telanjang berlari,
Anak kecil dengan tangan tengadah,
Melawan rintik hujan disore itu.
Sudut-sudut jalan dilampu
merah,
Penuh sesak kendaraan roda
empat,
Adalah potret buram kota,
Pada kelas sosial yang
semakin pelit.
*Mas,….. mau pelayanan
plus-minus atau plus-plus?
Gadis muda dengan busana melilit,
Gadis muda dengan sedikit
telanjang,
Gadis muda dengan tangan
berharap,
Melawan hingar bingar musik
dimalam itu.
Sudut-sudut ruang dengan cahaya memerah,
Banyak dikunjungi kaum borjuis,
Adalah potret kebiadaban kota,
Pada kelas sosial jual beli kenikmatan.
*iya nanti kita ketemuan, puaskan aku yah?
Perempuan dengan busana transparan,
Perempuan dengan berani telanjang,
Perempuan dengan banyak harapan,
Melawan cercaan tetangga hampir setiap waktu.
Sudut-sudut kamar hotel yang redup,
Banyak dihuni manusia manusia terasing,
Adalah potret perselingkuhan kota,
Pada kelas sosial yang makin elit,
Masih diperempatan jalan,
Lelaki tua duduk diatas
roda empat beralaskan papan yang hampir rapat diaspal,
Tangan tidak utuhpun tengadah,
Mengulurkan timbah
mendekati jendela mobil yang singgah.
Sudut trotoar kota yang
makin sempit,
Banyak dihuni
manusia-manusia cacat,
Bukankah negara kita
melindungi warganya yang cacat ?
Bukankah dalam membuat
aturannya,
Para wakil rakyat menghabiskan
anggaran milliaran rupiah,
Untuk tujuan melindungi
mereka yang *kandala, idiot*,
Ah wakil rakyat senang
bersenandung
Tidurlah
perempuan-perempuan itu,
Setelah bertarung melawan
malu pada diri,
Redupkan mata, berburu
lelaki lain untuk alasan sesuap nasi
Tidurlah perempuan muda
itu,
Setelah bertarung melawan
malu pada tetangga,
Sang janda yang genit, berburu nafas untuk
alasan realitas diri.
JEBAK
Oleh : Abdul Haris
Awie
Kamar-kamar kost yang jorok,
Banyak dihuni mahasiswa yang jorok,
Bungkus sana, bungkus sini
Rendam sana, rendam sini
Pun gantung sana, gantung sini. Jangan lupa nyamuk
dimana mana
Untuk alasan sibuk,
Bau menyengat diredam dengan parfum,
Untuk alasan bermalam minggu,
Baju tak tercucipun tetap disetrika.
Akhir
bulan face to face dengan ibu kost,
“He
rekening listrikmu, bayarko!”
“Maaf
bu belum ada kiriman!”
Piti kana-kanaiko, bulan lalu saja belum terbayar,
Dibumbui lagi „Adaji malu nu?“
Bangun
pagi nyalakan kompor,
Panaskan
air,
Sebungkus mi instan dengan pembungkus berdebu,
Juga telur ayam kampung kiriman ibu, lewat sopir
angkutan.
Jangan lupa mobil merah, nanabase (nai naung bangnging
miseng)
Baju putih atau biru atau batik,
Tak peduli ada noda menempel,
Bau sedikitpun tak jadi masalah besar,
Kalaupun bau „isolasi sosial saja“
Musim hujan mulai datang,
Sepatu berbunyi dengan nyanyian khas,
Jangan tanya setajam apa bau menyengatnya.
Bertarung untuk identitas diri,
Bertarung untuk hidup masa datang,
Soal
penampilan bukanlah yang utama,
Yang
penting “ini” katanya,
Itupun
belum tentu berisi. Gayana sajja!
Maafkan
aku dengan puisiku,
Sesama
anak kost saling menghargai, haaaaahahaha