Ku berharap kaulah yang terkhir untukku…
SENANDUNG HUJAN
Cipt. Abdul Haris Awie
*Paaak,..... Uangta, seribu
mo
Anak kecil dengan harap
melilit,
Anak kecil dengan kaki
telanjang berlari,
Anak kecil dengan tangan tengadah,
Melawan rintik hujan disore itu.
Sudut-sudut jalan dilampu
merah,
Penuh sesak kendaraan roda
empat,
Adalah potret buram kota,
Pada kelas sosial yang
semakin pelit.
*Mas,….. mau pelayanan
plus-minus atau plus-plus?
Gadis muda dengan busana melilit,
Gadis muda dengan sedikit
telanjang,
Gadis muda dengan tangan
berharap,
Melawan hingar bingar musik
dimalam itu.
Sudut-sudut ruang dengan cahaya memerah,
Banyak dikunjungi kaum borjuis,
Adalah potret kebiadaban kota,
Pada kelas sosial jual beli kenikmatan.
*iya nanti kita ketemuan, puaskan aku yah?
Perempuan dengan busana transparan,
Perempuan dengan berani telanjang,
Perempuan dengan banyak harapan,
Melawan cercaan tetangga hampir setiap waktu.
Sudut-sudut kamar hotel yang redup,
Banyak dihuni manusia manusia terasing,
Adalah potret perselingkuhan kota,
Pada kelas sosial yang makin elit,
Masih diperempatan jalan,
Lelaki tua duduk diatas
roda empat beralaskan papan yang hampir rapat diaspal,
Tangan tidak utuhpun tengadah,
Mengulurkan timbah
mendekati jendela mobil yang singgah.
Sudut trotoar kota yang
makin sempit,
Banyak dihuni
manusia-manusia cacat,
Bukankah negara kita
melindungi warganya yang cacat ?
Bukankah dalam membuat
aturannya,
Para wakil rakyat menghabiskan
anggaran milliaran rupiah,
Untuk tujuan melindungi
mereka yang *kandala, idiot*,
Ah wakil rakyat senang
bersenandung
Tidurlah
perempuan-perempuan itu,
Setelah bertarung melawan
malu pada diri,
Redupkan mata, berburu
lelaki lain untuk alasan sesuap nasi
Tidurlah perempuan muda
itu,
Setelah bertarung melawan
malu pada tetangga,
Sang janda yang genit, berburu nafas untuk
alasan realitas diri.
JEBAK
Oleh : Abdul Haris
Awie
Kamar-kamar kost yang jorok,
Banyak dihuni mahasiswa yang jorok,
Bungkus sana, bungkus sini
Rendam sana, rendam sini
Pun gantung sana, gantung sini. Jangan lupa nyamuk
dimana mana
Untuk alasan sibuk,
Bau menyengat diredam dengan parfum,
Untuk alasan bermalam minggu,
Baju tak tercucipun tetap disetrika.
Akhir
bulan face to face dengan ibu kost,
“He
rekening listrikmu, bayarko!”
“Maaf
bu belum ada kiriman!”
Piti kana-kanaiko, bulan lalu saja belum terbayar,
Dibumbui lagi „Adaji malu nu?“
Bangun
pagi nyalakan kompor,
Panaskan
air,
Sebungkus mi instan dengan pembungkus berdebu,
Juga telur ayam kampung kiriman ibu, lewat sopir
angkutan.
Jangan lupa mobil merah, nanabase (nai naung bangnging
miseng)
Baju putih atau biru atau batik,
Tak peduli ada noda menempel,
Bau sedikitpun tak jadi masalah besar,
Kalaupun bau „isolasi sosial saja“
Musim hujan mulai datang,
Sepatu berbunyi dengan nyanyian khas,
Jangan tanya setajam apa bau menyengatnya.
Bertarung untuk identitas diri,
Bertarung untuk hidup masa datang,
Soal
penampilan bukanlah yang utama,
Yang
penting “ini” katanya,
Itupun
belum tentu berisi. Gayana sajja!
Maafkan
aku dengan puisiku,
Sesama
anak kost saling menghargai, haaaaahahaha